JAKARTA – Ibu Kota RI sudah diputuskan pindah dari Jakarta ke Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara (Kukar). Kedua kabupaten di Kalimantan Timur itu dinilai termasuk daerah yang minim konflik sosial. Tapi, krisis dari sisi lingkungan hidup.
Pakar ilmu sosiatri dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Sri Murlianti menjelaskan, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi pemerintah ketika memindahkan Ibu Kota ke Kaltim.
Pertama soal daya dukung lingkungan. Menurut Murlianti, Kaltim merupakan wilayah yang mengalami krisis lingkungan paling parah sejak Orde Baru (Orba).
"Mulai dari eksploitasi kayu melalui sistem HPH (hak pengusahaan hutan) hingga lanjut ke pertambangan batubara dan pola perkebunan sawit dan karet. Kaltim menjadi wilayah yang sangat kritis," kata Murlianti kepada Okezone, Jumat (30/8/2019).
Berdasarkan data yang dikantongi Murlianti, ada ribuan lubang tambang yang membentuk cekungan di Kaltim. Lubang-lubang tersebuttelah memakan 36 korban jiwa serta membunuh mata pencaharian masyarakat yang mengandalkan dari hasil hutan.
"Dari daya dukung lingkungan, mestinya bicara Kal-tim pertama-tama adalah bicara pemulihan ekologis dulu, bukan tiba-tiba langsung ditetapkan jadi Ibu Kota," ucapnya.
Murlianti menyebutkan, 73 persen wilayah Kaltim merupakan daerah eksplorasi sumber daya alam (SDA) dengan rincian,13,83 juta hektare untuk HPH dan 5,2 juta hektar untuk tambang.
"Jika kita lihat kondisi lahan yang disebut-sebut dipilih menjadi ibukota Ada 1.190 IUP (Izin usaha pertambangan) dengan rincian, di Kabupaten Kutai Kertanegara ada 625 IUP, Samboja 90, Bukit Suharto 44," paparnya.
Sementara di Penajam Paser Utara, tepatnya di daerah Sepaku, kata Murlianti, ada dua perusahaan raksasa yang memanfaatkan kayu di hutan untuk hasil kekayaan. Dua perusahaan raksasa tersebut yakni, PT ITCI Hutani Manunggal dan PT ITCI Kartika Utama.
"Di Penajam Paser Utara, tepatnya Sepaku ada dua raksasa IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) milik PT ITCI Hutani Manunggal (Komisaris Prabowo) dan Kartika Utama (Komisaris Hasyim) memakan area173.395 hektar. Pertanyaannya, sudah adalah riset yang komprehensif tentang minimal mapping sosial masyarakat di sekitar area ini?," tekannya.
Murlianti menyoal soal kajian pemerintah yang selama ini berkutat pada permasalahan lokasi ekstablis untuk dijadikan Ibu Kota. Namun, menurut Murlianti, pemerintah belum menyentuh riset pendahuluan yang mendalam dan komprehensif soal lingkungan.
"Misalnya, jika pesisir Balikpapan akan menjadi lalu lalang kegiatan ibukota, akan diapakan para nelayan gurem yang ada di sepanjang pesisir itu yang pasti akan tersingkir oleh hiruk -pikiuk ibukota??," tanyanya
"Lantas, bagaimana peta awal masyarakat penyanggaanya? apa saja yang kemungkinan akan menjadi ancaman bagi eksistensi mereka? sama sekali belum diperhitungkan," kata Murlianti menambahkan.
Jadi Ibu Kota Baru, Kaltim Minim Konflik Sosial tapi Kritis Secara Lingkungan : Okezone Nasional.