Liputan6.com, Jakarta – Hoaks atau informasi bohong merajalela. Bukan tanpa tujuan, masifnya hoaks yang diproduksi diduga menjadi salah satu strategi jitu memenangkan Pilpres 2019.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi merasa resah dengan kondisi perpolitikan tanah air. Ia pun meminta semburan hoaks dan propaganda ala Rusia dalam berpolitik harus dihentikan.
"Cara-cara politik seperti ini harus diakhiri, menyampaikan semburan dusta, semburan fitnah, semburan hoaks, teori propaganda Rusia yang kalau nanti tidak benar, lalu minta maaf. Akan tetapi, besoknya keluar lagi pernyataan seperti itu, lalu minta maaf lagi," kata Jokowi di Surabaya, Sabtu (2/2/2019).
Propaganda Rusia yang dimaksud adalah teknik 'firehose of the falsehood' atau selang pemadam kebakaran atas kekeliruan, yang digunakan lembaga konsultasi politik Amerika Serikat Rand Corporation pada 2016.
Mereka menganalisis mengenai cara berpolitik Donald Trump mirip metode Presiden Rusia Vladimir Putin di Krimea dan Georgia, yaitu mengunakan teknik kebohongan yang diproduksi secara masif dan simultan melalui media-media pemberitaan yang mereka miliki.
"Saya kira tidak bisa cara-cara seperti ini diteruskan dalam pemilihan gubernur, pemilihan bupati, pemilihan presiden. Kita ingin mengedukasi masyarakat, memberikan pelajaran yang baik, sopan santun di politik itu ada, dan saya rasa media memegang peran sangat penting dalam hal ini," ungkap Jokowi.
Menurut Jokowi, banyaknya hoaks yang bertebaran di medsos karena adanya tim sukses (timses) yang melakukan propaganda ala Rusia. Propaganda itu disebut untuk menyebarkan fitnah dan hoaks kepada masyarakat.
"Problemnya adalah timses yang menyiapkan propaganda Rusia, yang setiap saat mengeluarkan semburan fitnah dan hoaks. Ini yang harus segera diluruskan," Jokowi menegaskan.
Apalagi, sambungnya, semburan hoaks dan propaganda Rusia itu diulang berkali-kali dalam kontestasi pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden. Meski begitu, hal tersebut dilihat Presiden sebagai proses yang mendewasakan masyarakat.
"Es degan saat minum pertama kalinya enak. Akan tetapi, diberikan terus-terusan, 10 kali sampai 15 kali jadi muntah dan kapok serta tidak minta lagi. Ini sesungguhnya proses mendewasakan kita, mematangkan kita untuk menyaring berita-berita yang tidak baik, mungkin juga bisa memintarkan, memandaikan kita," ujar Jokowi.
Menanggapi pernyataan Jokowi, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menanyakan tim sukses siapa yang dimaksud Jokowi.
"Kita kan belum jelas yang dimaksud presiden itu tim sukses yang mana? Apakah tim sukses di pihak sana atau timses di BPN Prabowo-Sandi," kata Direktur Hukum dan Advokasi BPN Prabowo-Sandiaga, Sufmi Dasco Ahmad kepada wartawan.
BPN Prabowo-Sandiaga, tegasnya, tidak akan menggunakan cara-cara negatif dalam berkampanye. Kubu pasangan nomor urut 02 itu menyebut tidak menoleransi penyebaran hoaks.
"Mudah-mudahan yang dimaksud bukan dari kami. Karena kalau ada, saya yang pertama nanti akan melibas dari dalam," ujar Dasco.
Politikus Partai Gerindra ini menyatakan, Prabowo selalu mengingatkan timnya agar berkampanye positif. Prabowo tidak mengizinkan tim sukses berkampanye negatif, apalagi melakukan black campaign.
"Pak Prabowo sudah berulang kali menyatakan bahwa dalam kampanye kita harus menjaga tutur kata, sopan santun, tidak boleh ada persekusi di dunia nyata maupun hoaks di dunia maya, apalagi dusta-dusta dan lain-lain. Untuk itu kami mengimbau kedua belah pihak untuk melakukan hal tersebut dengan konsisten," Dasco memungkasi.
Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Gajah Mada Analitika Herman Dirgantara menilai teknik propaganda firehouse of the falsehood sebagai strategi kampanye kotor.
"Teknik propaganda firehouse of the falsehood itu sebetulnya merupakan teknik strategi perang non-konvensional atau kotor," ujar Herman.
Ia menjelaska, teknik propaganda ala Rusia ini memiliki dua tujuan utama yakni menciptakan persepsi publik yang merugikan lawan politik dan menciptakan narasi kebohongan yang berulang sehingga menimbulkan simpati publik bagi yang menggunakan teknik tersebut.
"Jadi ada tujuan utama yang ingin dicapai. Pertama, menciptakan persepsi publik yang merugikan lawan politik. Kedua, di sisi lain pihak yang menggunakan agar mendapat simpati. Narasinya melalui kebohongan bersifat continue yang menciptakan sudut pandang. Kalau memang terindikasi, saya katakan Pemilu 2019 kita berada dalam ancaman serius," jelas Herman.
Semburan Propaganda Rusia dalam Pilpres 2019.